Wednesday, September 17, 2014

1.      Pengertian Pekerjaan Sosial Internasional
Pekerjaan sosial Internasional adalah sebuah profesi yang pertolongan dan pelayanaan kemanusiaan yang tujuannya untuk membantu IKKM (Individu, keluarga, Kelompok, dan Masyarakat) untuk mencapai keberfungsian sosialnya, yang di berlakukan secara Internasional, artinya cakupan dimensi pelayanan yang diberikan sangat luas wilayahnya. Kemudian pekerja sosial Internasional bisa masuk dalam setting lembaga-lembaga atau organisasi Internasional seperti WHO, UNICEF, dan UNESCO.
Dimensi Pekerjaan Sosial Internasional
1.      Internationally related domestic practice and advocacy
Pekerja sosial menanagani masalah-masalah di negara asalnya yang memiliki dimensi internasional (di mana 2 atau 3 negara terlibat dalam suatu kasus/kebijakan. Misal: penempatan pengungsi internasional, adopsi internasional
2.      Professional Exchange
Terkait dengan pertukaran informasi dan pengalaman mengenai praktek, metode, isu, dan tantangan yang dihadapi pekerja sosial antar wilayah/negara.
3.      International Practice
Mempersiapkan sebagian pekerja sosial profesioal untuk secara langsung terlibat dalam aktivitas-aktivitas pembangunan pada lembaga-lembaga pembangunan internasional (Red Cross, Save the Children, Lembaga2 PBB) baik secara profesional maupun sukarela.
Sumber: Bahan Mata Kuliah
Pekerjaan Sosial Internasional-class 1.pptx
2.      Keterampilan yang dimiliki Pekerjaan Sosial Internasional
Menurut profesor. Adi Fahrudin, PhD, keterampilan yang harus dimiliki dalam pekerjaan sosial Internasional dalam melihat isu yang berkembang diera globalisasi dewasa ini:
1.      Memahami teori-teori utama dan konsep pekerjaan sosial internasional termasuk globalisasi, pembangunan, hak-hak asasi manusia dan transnasionalisme
2.      Menyadari mengenai peranan praktek dan peluang-peluang bagi pekerja sosial dalam bantuan dan pembangunan internasional
3.      Menyadari aspek ketergantungan global yang mempengaruhi isu kesejahteraan sosial domestik dan kaitan pengetahuan yang ada untuk meningkatkan aspek internasional dari praktek pekerjaan sosial domestik.
4.      Memahami dengan baik mengenai peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam penetapan standar bagi kebijakan kesejahteraan sosial internasional
5.      Menyadari dampak kebijakan nasional mengenai kondisi kesejahteraan sosial di Negara lain dan dampak reciprocal terhadap kebijakan Negara lain.
6.      Menghargai aspek internasional dari keanekaragaman budaya untuk memfasilitasi peningkatan pelayanan kepada penduduk dunia.
7.      Memiliki pengetahuan mengenai sumber-sumber utama mengenai data global dan lintas Negara mengenai pekerjaan sosial.
8.      Kemampuan mengatasi dilemma nilai dalam praktek pekerjaan sosial internasional.
9.      Menyadari dan mempertimbangkan dimensi internasional yang berkaitan dengan kasus dan masalah masyarakat dalam praktek di wilayah domestic mereka.
10.  Memberikan kontribusi kepada pemecahan masalah secara bersama terhadap permasalahan sosial global
11.  Melakukan pemantauan terhadap perkembangan permasalahan sosial global termasuk pengetahuan dan teknologi pemecahan masalah terkini yang dapat diterapkan dalam kontek praktek domestik
Keterampilan yang harus dimiliki Pekerja Sosial secara global adalah;
1.      Mempunyai Body of Knowladge
2.      Body of Value
3.      Mempunyai Body of Skill
4.      Mempunyai wawasan tentang Pekerjaan sosial
5.      Memahami isu-isu internasional yang berkembang setiap tahunnya
Sumber: : http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/32600943/KESEJAHTERAAN_SOSIAL_INTERNASIONALlibre.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=1409794445&Signature=Mz5ljTB81Gu%2BU68xqRFVFzw9GrQ%3D
3.      Setting Lembaga Pekerjaan Internasional
Secara konvensional, pekerjaan sosial biasanya dipandang sebagai profesi yang menangani permasalahan kesejahteraan sosial baik pada setting lembaga maupun masyarakat. Dalam setting lembaga, pekerja sosial biasanya bekerja pada institusi-institusi pelayanan sosial, seperti lembaga rehabilitasi sosial, pengasuhan anak, perawatan orang tua, penanganan korban narkoba dll. Dalam setting masyarakat, umumnya pekerja sosial menangani permasalahan sosial yang berkaitan dengan pembangunan lokal (pedesaan dan perkotaan), Lembaga pendidikan pekerja sosial, seperti STKS, UNPAD dan UNPAS, membekali mahasiswanya dengan ilmu-ilmu sosial maka selain bekerja di sektor swasta, banyak pekerja sosial yang bekerja di departemen-departemen pemerintah (Depsos, Depdagri/Pemda, Depdikbud dan organisasi-organisasi sejenis pada level-level di bawahnya). Lembaga-lembaga internasional yang terbuka bagi pekerja sosial antara lain UNHCR (pengungsi); UNDP (pembangunan); UNICEF (masalah anak),  ILO (masalah buruh), World Health Organization (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), United Nations, Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), dan International Federation of Social Workers (IFSW).



Wednesday, September 10, 2014

Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin
akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan
pemberdayaan serta kebebasan individu. Prinsip-prinsip keadilan sosial, hak asasi
manusia, tanggung jawab kolektif dan pengakuan keberagaman adalah prinsip utama
bagi pekerjaan sosial.
Diperkuat dengan teori-teori pekerjaan sosial, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan
pengetahuan-pengetahuan lokal, pekerjaan sosial melibatkan individu dan institusi
untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan untuk meningkatkan kesejahteraan.


Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.



PENJELASAN

Penjelasan ini berfungsi untuk membuka konsep-konsep inti yang digunakan dalam
definisi dan dilengkapi dengan hal-hal yang berkaitan dengan mandat utama, prinsip,
pengetahuan dan praktik profesi pekerjaan sosial.

MANDAT UTAMA

Mandat utama profesi pekerjaan sosial termasuk memfasilitasi perubahan sosial,
pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan serta kebebasan individu.

Pekerjaan sosial adalah profesi praktik dan sebuah disiplin ilmu yang mengakui
keterkaitan faktor sejarah, sosio-ekonomik, budaya, dimensi ruang, politik, dan
individual yang berfungsi sebagai kesempatan-kesempatan dan/atau hambatanhambatan

bagi kesejahteraan dan pengembangan individual. Hambatan-hambatan
struktural berkontribusi terhadap ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi dan opresi.
Perkembangan kesadaran kritis melalui refleksi terhadap sumber-sumber opresi
dan/atau kebebasan secara structural, berdasarkan pada karakteristik ras, kelas, jenis
kelamin, disabilitas, budaya dan orientasi seksual, dan mengembangkan strategi aksi
untuk mengatasi hambatan-hambatan struktural dan individual adalah pusat dari praktik
emansipasi dimana tujuannya adalah pemberdayaan dan pembebasan individual. Atas
nama solidaritas bagi mereka yang tidak beruntung, profesi pekerja sosial berusaha
untuk menghapuskan kemiskinan, membebaskan individu yang rawan dan tertekan,
sera meningkatkan kohesi dan inklusi sosial.

Mandat perubahan sosial didasarkan pada premis bahwa intervensi pekerjaan sosial
terjadi ketika situasi yang ada, baik itu di tingkat individu, keluarga, kelompok kecil,
masyarakat, sangat membutuhkan perubahan dan pengembangan. Hal tersebut
didorong oleh kebutuhan untuk menghadapi dan mengubah kondisi struktural yang
berkontribusi terhadap pemiskinan, eksklusi sosial dan opresi. Perubahan sosial
meliputi keberadaan institusi individu dalam mengangkat hak asasi manusia dan
ekonomi, lingkungan dan keadilan sosial. Profesi pekerjaan sosial   juga berkomitmen
untuk memelihara stabilitas sosial, sejauh stabilitas tersebut tidak digunakan untuk
memarginalisasikan, mengeluarkan atau menekan kelompok-kelompok individual
tertentu.

Pembangunan sosial dikonseptualisasikan sebagai strategi intervensi, kerangka pikir
kebijakan dan negara yang diinginkan, yang disesuaikan dengan kerangka residual dan
institusional yang lebih popular. Kerangka tersebut berdasar pada asesmen holistik
biopsikososialspiritual dan intervensi yang meliputi pembagian mikro-makro,
menggunakan system yang berlapis dan kolaborasi antar sektor dan antar profesi,
ditujukan guna tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Pekerjaan sosial
memprioritaskan diri pada perkembangan sosio-struktural dan ekonomi dan tidak lagi
mengikuti pemahaman konvensional yang menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi
adalah prasyarat tercapainya pembangunan sosial.


PRINSIP-PRINSIP

Prinsip-prinsip menyeluruh pada pekerjaan sosial adalah penghargaan akan martabat
dan rasa berharga pada manusia, tidak melakukan kejahatan, menghargai
keberagaman dan menjunjung hak asasi manusia dan keadilan sosial.

Mengadvokasi dan menjunjung hak asasi manusia dan keadilan sosial adalah motivasi
dan justifikasi bagi pekerjaan sosial. Profesi pekerjaan sosial mengakui bahwa hak
asasi manusia perlu ada seiring dengan dengan tanggung jawab kolektif. Ide mengenai
tanggung jawab kolektif menggarisbawahi kenyataan bahwa hak asasi manusia secara
individual hanya dapat direalisasikan sehari-hari jika setiap orang saling mengambil
tanggung jawab untuk dirinya dan lingkungannya serta pentingnya membangun
hubungan yang saling menguntungkan dalam masyarakat. Sehingga fokus utama dari
pekerjaan sosial adalah untuk mengadvokasi hak-hak manusia di setiap tingkatan, dan
untuk memfasilitasi pengambilan tanggung jawab individual untuk kesejahteraan
masing-masing, menyadari dan menghargai saling ketergantungan diantara manusia itu
sendiri dan diantara manusia dan lingkungannya.

Pekerjaan sosial mecakup hak-hak asasi manusia (HAM) generasi pertama, kedua dan
ketiga. HAM generasi pertama adalah hak sipil dan politik seperti kebebasan berbicara
sesuai hati nurani dan bebas dari siksaan dan hukuman yang sewenang-wenang;
generasi kedua adalah hak yang berkaitan dengan sosio-ekonomi dan budaya  seperti
hak mendapatkan tingkat pendidikan yang sesuai, pelayanan kesehatan, perumahan,
dan hak kaum minoritas; HAM generasi ketiga terfokus kepada dunia dan hak terhadap
keberagaman spesies dan kesetaraan antar generasi. Ketiga hak tersebut saling
menguatkan dan berkaitan serta mengakomodasi hak-hak individual dan kolektif.

Beberapa contoh “tidak melakukan kejahatan” dan “penghargaan terhadap
keberagaman” dapat mewakili nilai-nilai yang mungkin menimbulkan konflik dan
persaingan, misalnya atas nama budaya, beberapa hak dilanggar, termasuk hak untuk
hidup dari kelompok minoritas seperti perempuan atau homoseksual. Standar global
untuk Pendidikan dan Pelatihan Pekerjaan Sosial menjawab isu yang kompleks
tersebut dengan mengadvokasi bahwa para pekerja sosial dilatih dengan pendekatan
dasar hak asasi manusia, dengan catatan penjelasan seperti berikut:


Pendekatan tersebut dapat memfasilitasi konfrontasi secara konstruktif dan
perubahan dimana kepercayaan, nilai dan tradisi tertentu melanggar hak-hak dasar
manusia. Karena budaya adalah dikonstruksikan secara social dan dinamis, maka
budaya tersebut dapat diubah dan mengalami dekonstruksi. Konfrontasi konstruktif,
dekonstruksi dan perubahan tersebut dapat difasilitasi melalui penyamaan visi, dan
pemahaman mengenai kepercayaan, nilai dan tradisi budaya tertentu dan juga
melalui dialog kritis dan reflektif dengan anggota kelompok budaya tersebut dan
isu-isu hak asasi manusia yang lebih luas.
PENGETAHUAN

Pekerjaan sosial adalah disiplin ilmu yang interdisiplin dan juga transdisiplin, dan
mengacu pada teori dan penelitian ilmiah yang luas. “Sains” dipahami pada konteks ini
dalam bentuk yang paling dasar sebagai “pengetahuan”. Pekerjaan sosial mengacu
pada perkembangan teori dasar dan penelitian yang terus berkembang, seperti juga
teori-teori dari sains-sains tentang manusia, termasuk tapi tidak terbatas pada
pengembangan masyarakat, pedagogi sosial, administrasi, antropologi, ekologi,
ekonomi, pendidikan, management, keperawatan, psikiatri, psikologi, kesehatan
masyarakat dan sosiologi. Keunikan penelitian dan teori pekerjaan sosial adalah bahwa
mereka adalah aplikatif dan emansipatoris. Kebanyakan penelitian dan teori pekerjaan
sosial di ko-konstruksikan dengan para pengguna layanan secara interaktif melalui
proses dialog sehingga selalu dipengaruhi oleh lingkungan praktik tertentu.

Definisi yang diajukan ini mengakui bahwa pekerjaan sosial dipengaruhi tidak saja oleh
lingkungan praktik tertentu dan teori-teori Barat saja, tapi juga oleh pengetahuanpengatuan

lokal. Bagian dari warisan kolonialisme ialah bahwa pengetahuan dan teori
Barat telah dinilai lebih, dan pengetahuan lokal tidak dianggap penting, dan dihegemoni
oleh teori-teori dan pengetahuan-pengetahuan barat. Definisi yang diberikan mencoba
untuk menahan dan membalikkan proses tersebut dengan mengakui bahwa orangorang

lokal di setiap wilayah atau Negara memiliki nilai, cara pengetahuan, cara
menyebarkan pengetahuan mereka masing-masing, dan telah memberikan kontribusi
berharga untuk sains. Pekerjaan sosial mencoba untuk memperbaiki sejarah
kolonialisme ilmu pengetahuan Barat dan hegemoninya dengan cara mendengarkan
dan belajar dari para penduduk lokal di seluruh dunia. Dengan cara ini, pengetahuan
pekerjaan sosial akan dapat diciptakan kembali dan diketahui oleh para penduduk lokal,
dan dipraktikkan secara lebih tepat tidak hanya di lingkungan lokal saja, tetapi juga
secara internasional. Berdasarkan pada PBB, IFSW mendefinisikan masyarakat lokal
sebagai berikut:

 Mereka tinggal dalam (atau menjaga kelekatan dengan) wilayah leluhur secara
geografis.
 Mereka cenderung untuk menjaga institusi sosial, ekonomi dan politik khas
dalam wilayah mereka.
 Mereka menjaga diri untuk tetap unik secara budaya, geografi dan institusi,
daripada melakukan asimilasi secara penuh kepada masyarakat umum.
 Mereka mengidentifikasi diri sebagai pribumi atau suku.
http://ifsw.org/policies/indigenous-peoples



PRAKTIK

Legitimasi dan mandat pekerjaan sosial terletak pada intervensinya dimana individu
berinteraksi dengan lingkungan mereka masing-masing. Lingkungan tersebut termasuk
berbagai system sosial yang melekat pada individu-individu secara alamiah, lingkungan
geografis, yang berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat. Metodologi
partisipatoris yang dilakukan oleh pekerjaan sosial direfleksikan dalam “melibatkan
manusia dan struktur untuk mengatasi tantangan hidup dan meningkatkan
kesejahteraan”. Sejauh mungkin, pekerjaan sosial mendukung kerja bersama daripada
bekerja untuk individu. Konsisten dengan paradigm pembangunan sosial, para pekerja
sosial menggunakan berbagai keterampilan, teknik, strategi, prinsip dan kegiatan di
berbagai tingkatan system, diarahkan pada  pemeliharaan system dan/atau usaha
mengubah system. Praktik pekerjaan sosial terentang dalam berbagai bentuk terapi dan
konseling, group work dan community work; formulasi dan analisis kebijakan; dan
intervensi advokasi dan politik. Dari perspektif emansipatori, definisi ini mendukung
strategi dimana pekerjaan sosial ditujukan pada peningkatan harapan individu,
kepercayaan diri dan potensi kreatif setiap individu untuk menghadapi dan menantang
dinamika kekuatan opresi dan sumber-sumber ketidakadilan struktural sehingga
mencakup kesatuan aspek mikro-makro dan dimensi personal-politik dalam intervensi.
Fokus menyeluruh pekerjaan sosial adalah universal, namun prioritas dari praktik
pekerjaan sosial akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya; berbeda dari
waktu ke waktu tergantung pada kondisi sejarah, budaya, politik dan sosio-ekonomi.

Tanggung jawab pekerjaan sosial di seluruh dunia adalah untuk membela, memperkaya
dan mewujudkan nilai dan prinsip-prinsip yang direfleksikan dalam definisi ini. Sebuah
definisi pekerjaan sosial hanya dapat bermakna ketika para pekerja sosial secara aktif
berkomitmen kepada nilai-nilai dan visi dari pekerjaan sosial itu sendiri.          





Shalawat Badar
Shalawat Badar
Karya Ahmad Tohari
Bus yang aku tumpangi masuk Cirebon ketika matahari hamper mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua mamanggang bus itu beserta isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesame penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun, dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas Koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.
Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal bus menjadi pasar yang sangat hiruk pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan soir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bias mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian, mereka mengeluh ketika mendapati tak seorangpun mau belanja. Seorang diantara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia –manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.
Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu;hendaknya sopir cepat datang dan bus segera berangkat kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.
Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang; sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakang itu.
Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Tangannya menadahkan mangkuk kecil. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengrkan dengan baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar ada lelaki membaca Shalawat Badar untuk mengemis.
Kukira pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik di dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan. Ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di hadapanku. Mungkin karena shalawat itu, maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Ada banyak hal dapat dibaca pada wajah pengemis itu.
Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada bebekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bias menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu.
Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin diesel yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka bertengkar melalui kata-kata yang tidak sedap didengar. Dan bus melaju meninggalkan terminal Cirebon.
Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jokok dekat pintu belakang.” He, siral kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”
Pengemis itu diam saja.
“Turun!”
“Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?”
“Tadi siapa suruh kamu naik?”
“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau mengemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”
Kondektur kahabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikti lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya sambil bergumam: “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…’
Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tidak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bias membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutampangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bias menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.
Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun aku tersandung batu dan jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lobang hidungku. Ketika kuraba,, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada melapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tidak karuan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kea rah kota Cirebon.
Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang kea rah timur itu:”Shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…
(Sumber : Kumpulan cerpen Senyum Karyamin, 1989
Konvensi Bahasa:
Setiap karya sastra selalu ada kalimat-kalimat yang estetis, dalam cerpen Pemandangan Perut pengarang juga menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa pada umumnya yaitu bersifat estetis, puitis, menyentuh rasa dengan keindahannya. Contoh konvensi bahasa yang mengandung sifat estetis dan puitis:  “Kukira pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik di dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan.”
Cerpen tersebut bersifat imajinatif/ fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat dari daya khayal kreatif, contoh : “Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tidak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bias membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutampangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bias menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.”
Konvensi Sastra:
Unsur konvensi sastra dalam prosa atau cerita pendek di atas dapat meliputi:
tema dan subtema, amanat, penokohan, plot, pusat pengisahan, gaya bahasa.
Unsur-unsur tesebut sama hal nya dengan unsur intrisik yang terdapat dalam sebuah cerita.
Unsur intrinsik cerpen Pemandangan Perut :
1.      Tema         : Kehidupan Bermasyarakat
2.      Penokohan
A.    Pengemis : sosok orang yang rendah diri, rendah hati, sosok yang pasrah .
B.       Aku       : perhatian terhadap sesama, memiliki rasa keingintahuan yang tinggi.
C.       Kondektur Bus: mudah marah dan menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Kondektur enggan melayani bus yang tidak penuh, mereka bertengkar melalui kata-kata yang tidak sedap di dengar. Kondektur diam, ia kehabisan kata-kata, dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat
D.    Sopir Bus : Sosok yang acuh tak acuh, tidak memperdulikan yang lain. Sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang, sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan.
E.     Pedagang Asongan : Emosional, Mereka menyodor-nyodorkan dagangan sampai dekat sekali ke mata para penumpang, mereka mengeluh ketika tak mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang di antara mereka mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia-manusia kikir

3.      Alur           : maju  (karena cerita tersebut memaparkan setiap kejadian berdasarkan urutan kronologis waktu yang terus maju dan tidak mundur).
4.      Latar          :
a.       Waktu   : Siang hari dan sore hari           
b.      Tempat  : di dalam Bus Jurusan Cirebon-Jakarta, terminal, sawah
c.       Suasana : iba, menegangkan, panas, panik,
6.      Amanat     : Janganlah berpikiran negatif terhadap orang lain, selesaikan masalah dengankepala dingin bukan kekerasan, contohlah sikap seseorang yang bersahaja. Kemudian kita harus selalu mengingat  Allah dan Nabi Muhammad SAW agar selalu selamat dalam setiap perjalanan. Hendaknya kita harus banyak berbuat baik dan kita harus banyak-banyak membaca sholawat, agar kita dapat terhindar dari bahaya malapetaka/bencana, janganlah menjadi orang yang suka mengeluh dan jangan menjadi orang yang memikirkan diri sendiri/egoisme.
Konvensi Budaya : Konvensi budaya dalam Cerpen Pengemis dan Shalawat badar yaitu kebiasaan para pedagang asongan ketika diterminal selalu naik kedalam bus untuk menjajakan dagangannya. Kemudian kebiasaan mengumandangkan shalawat badar saat rapat dan  pengajian.
Ikon :
1. Bus: Sebagai ikon sistem transportasi yang berfungsi sebagai alat transportasi orang-orang berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain
2. terminal sebagai ikon tempat yang menjad tempat penumpang menunggu kedatangan bus yang akan membawa mereka ketempat tujuannya.
3. Besenandung ssebagai Ikon mempunyai bakat bernyayi dan menguasai lagu-lagu shalawat.
Indeks:
1. Pedagang asongan sebagai indeks penanda pekerjaan, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bias mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian, mereka mengeluh ketika mendapati tak seorangpun mau belanja. Seorang diantara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia –manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.
2. indeks perilaku. Perilaku pada tokoh dalam cerpen ini meliputi: penuh kekhawatiran, semangat tinggi, berpikiran sederhana, perhatian, keras kepala, idealis, dan sombong
Simbol:
1. simbol ketidakadilan : Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jokok dekat pintu belakang.” He, siral kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”
Pengemis itu diam saja.
“Turun!”
“Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?”
“Tadi siapa suruh kamu naik?”
“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau mengemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”


2. simbol kemiskinan : ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Tangannya menadahkan mangkuk kecil. Lelaki itu mengemis.

About

BTemplates.com

Tomi Sapari. Powered by Blogger.

Pages

Popular Posts