Shalawat
Badar
Shalawat
Badar
Karya
Ahmad Tohari
Bus
yang aku tumpangi masuk Cirebon ketika matahari hamper mencapai pucuk langit.
Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua mamanggang bus itu
beserta isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesame penumpang tak perlu
bersinggungan badan. Namun, dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui
udara yang dialirkan dengan kipas Koran. Dari belakang terus-menerus mengepul
asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.
Begitu
bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di
antara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal
bus menjadi pasar yang sangat hiruk pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan
dan soir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan
dengan suara melengking agar bias mengatasi derum mesin. Mereka
menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para
penumpang. Kemudian, mereka mengeluh ketika mendapati tak seorangpun mau
belanja. Seorang diantara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para
penumpang adalah manusia –manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya
duit.
Suasana
sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan
yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang
hanya satu;hendaknya sopir cepat datang dan bus segera berangkat kembali untuk
meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan
itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau
dengan seorang perempuan penjual buah.
Sementara
para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap
lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman
seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu
dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga
tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca
semuanya dengan tenang; sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu,
tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah
mengantuk sambil mengepulkan asap di belakang itu.
Masih
banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus.
Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu
naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir
Shalawat Badar dalam suara yang bening. Tangannya menadahkan mangkuk kecil.
Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat
dalam. Aku dengrkan dengan baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca
shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat.
Sekarang kulihat dan kudengar ada lelaki membaca Shalawat Badar untuk mengemis.
Kukira
pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar
ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik di dunia maupun akhirat. Lalu dari
pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di
dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya
sambil menadahkan tangan. Ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus
seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian
lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di hadapanku. Mungkin karena shalawat
itu, maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan.
Ada banyak hal dapat dibaca pada wajah pengemis itu.
Di
sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan.
Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian
yang sering diawali dengan shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan
ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada bebekas pada wajah pengemis itu.
Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bias menghafal
Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak
beres. Ada yang salah. Sayangnya aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang
terus membaca shalawat itu.
Perhatianku
terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat
sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berteriak
kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin diesel yang meraung-raung.
Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus
yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang
ternyata tak kunjung datang. Mereka bertengkar melalui kata-kata yang tidak
sedap didengar. Dan bus melaju meninggalkan terminal Cirebon.
Sopir
yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tapi
kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan
kepada pengemis yang jokok dekat pintu belakang.” He, siral kenapa kamu tidak
turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang
ke laut dijadikan rumpon?”
Pengemis
itu diam saja.
“Turun!”
“Sira
beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?”
“Tadi
siapa suruh kamu naik?”
“Saya
naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau mengemis, kok. Coba,
suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”
Kondektur
kahabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya
bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa
saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur
berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikti lega, bergerak
memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya sambil bergumam:
“…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…’
Shalawat
itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tidak ada lagi suara
kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku
pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bias membedakan mana suara shalawat
dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di
sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah
banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan
pengemis yang naik dalam bus yang kutampangi di terminal Cirebon. Dan dalam
mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bias menghafal teks shalawat itu dengan
sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup
di dunia maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya
memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.
Kukira
aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar
Guntur meledak dengan dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan
jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya
kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun aku
tersandung batu dan jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata
ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lobang hidungku. Ketika kuraba,,
cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka
parah. Aku terjaga dan di depanku ada melapetaka. Bus yang kutumpangi sudah
terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tidak karuan. Di dekatnya
terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku
mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk
kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu
samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak
tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kea rah kota
Cirebon.
Telingaku
dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang kea
rah timur itu:”Shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…
(Sumber
: Kumpulan cerpen Senyum Karyamin, 1989
Konvensi Bahasa:
Setiap
karya sastra selalu ada kalimat-kalimat yang estetis, dalam cerpen Pemandangan
Perut pengarang juga menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa pada umumnya
yaitu bersifat estetis, puitis, menyentuh rasa dengan keindahannya. Contoh
konvensi bahasa yang mengandung sifat estetis dan puitis: “Kukira pengemis itu sering mendatangi
pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang
kebaikan hidup baik di dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu
dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu
adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan
tangan.”
Cerpen
tersebut bersifat imajinatif/ fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat
dari daya khayal kreatif, contoh : “Shalawat itu terus mengalun dan terdengar
makin jelas karena tidak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan
terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama
aku tak bias membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh
jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca
shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang
sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang
kutampangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa
mereka bias menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering
mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan
dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya
boleh dipakai modal menadahkan tangan.”
Konvensi Sastra:
Unsur
konvensi sastra dalam prosa atau cerita pendek di atas dapat meliputi:
tema
dan subtema, amanat, penokohan, plot, pusat pengisahan, gaya bahasa.
Unsur-unsur
tesebut sama hal nya dengan unsur intrisik yang terdapat dalam sebuah cerita.
Unsur
intrinsik cerpen Pemandangan Perut :
1. Tema : Kehidupan Bermasyarakat
2. Penokohan
A. Pengemis
: sosok orang yang rendah diri, rendah hati, sosok yang pasrah .
B. Aku
: perhatian terhadap sesama, memiliki rasa keingintahuan yang tinggi.
C. Kondektur Bus: mudah marah dan menyelesaikan
masalah dengan cara kekerasan Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada
sopir. Kondektur enggan melayani bus yang tidak penuh, mereka bertengkar
melalui kata-kata yang tidak sedap di dengar. Kondektur diam, ia kehabisan
kata-kata, dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat
D. Sopir
Bus : Sosok yang acuh tak acuh, tidak memperdulikan yang lain. Sopir sudah
bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang, sopir yang
marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan.
E. Pedagang
Asongan : Emosional, Mereka menyodor-nyodorkan dagangan sampai dekat sekali ke
mata para penumpang, mereka mengeluh ketika tak mendapati tak seorang pun mau
berbelanja. Seorang di antara mereka mengutuk dengan mengatakan para penumpang
adalah manusia-manusia kikir
3. Alur : maju (karena cerita tersebut memaparkan setiap
kejadian berdasarkan urutan kronologis waktu yang terus maju dan tidak mundur).
4. Latar :
a. Waktu
: Siang hari dan sore hari
b. Tempat
: di dalam Bus Jurusan Cirebon-Jakarta, terminal, sawah
c. Suasana : iba, menegangkan, panas,
panik,
6. Amanat
: Janganlah berpikiran negatif terhadap orang lain, selesaikan masalah
dengankepala dingin bukan kekerasan, contohlah sikap seseorang yang bersahaja.
Kemudian kita harus selalu mengingat
Allah dan Nabi Muhammad SAW agar selalu selamat dalam setiap perjalanan.
Hendaknya kita harus banyak berbuat baik dan kita harus banyak-banyak membaca sholawat,
agar kita dapat terhindar dari bahaya malapetaka/bencana, janganlah menjadi
orang yang suka mengeluh dan jangan menjadi orang yang memikirkan diri
sendiri/egoisme.
Konvensi Budaya : Konvensi
budaya dalam Cerpen Pengemis dan Shalawat badar yaitu kebiasaan para pedagang
asongan ketika diterminal selalu naik kedalam bus untuk menjajakan dagangannya.
Kemudian kebiasaan mengumandangkan shalawat badar saat rapat dan pengajian.
Ikon :
1.
Bus: Sebagai ikon sistem transportasi yang berfungsi sebagai alat transportasi
orang-orang berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain
2.
terminal sebagai ikon tempat yang menjad tempat penumpang menunggu kedatangan
bus yang akan membawa mereka ketempat tujuannya.
3.
Besenandung ssebagai Ikon mempunyai bakat bernyayi dan menguasai lagu-lagu
shalawat.
Indeks:
1.
Pedagang asongan sebagai indeks penanda pekerjaan, bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan
suara melengking agar bias mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan
dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian,
mereka mengeluh ketika mendapati tak seorangpun mau belanja. Seorang diantara
mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia –manusia
kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.
2.
indeks perilaku. Perilaku pada tokoh dalam cerpen ini meliputi: penuh
kekhawatiran, semangat tinggi, berpikiran sederhana, perhatian, keras kepala, idealis,
dan sombong
Simbol:
1.
simbol ketidakadilan : Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan.
Kondektur diam. Tapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan
kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jokok dekat pintu belakang.” He,
siral kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu
gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”
Pengemis
itu diam saja.
“Turun!”
“Sira
beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?”
“Tadi
siapa suruh kamu naik?”
“Saya
naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau mengemis, kok. Coba,
suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”
2.
simbol kemiskinan : ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan
kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu
mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar
dalam suara yang bening. Tangannya menadahkan mangkuk kecil. Lelaki itu
mengemis.